Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha yang berdiri pada abad ke-7 dibuktikan dengan adanya prasasti kedukan bukit di Palembang. Kerajaan sriwijaya adalah salah satu kerajaan yang kuat di pulau sumatra. Nama sriwijaya berasal dari bahasa sansekerta berupa "sri" yang artinya bercahaya dan "wijaya" berarti kemenangan. Sehingga dapat diartikan sebagai kemenangan yang bercahaya atau gemilang. Kerajaan sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (Provinsi Riau). Kerajaan sriwijaya dipimpin oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai raja pertama.
MASA KEJAYAAN KERAJAAN SRIWIJAYA
Sebuah kerajaan yang besar tentunya memiliki sejarah jaya dan runtuhnya yang tentu akan selalu diingat oleh masyarakat Indonesia. Sejarah masa kejayaan kerajaan Sriwijaya dimulai sekitar abad ke 9 hingga abad ke 10 di mana saat itu kerajaan ini berhasil menguasai jalur perdagangan maritim Asia Tenggara. Tidak hanya perdagangan maritim saja, akan tetapi juga berbagai kerajaan di Asia Tenggara berhasil dikuasai oleh Sriwijaya. Kerajaan di Thailand, Kamboja, Filipina, Vietnam, hingga Sumatera dan Jawa berhasil dikuasai Sriwijaya. Masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya menjadi pengendali rute perdagangan lokal yang mana waktu itu seluruh kapal yang lewat akan dikenakan bea cukai. Mereka juga berhasil mengumpulkan kekayaan mereka dari gudang perdagangan serta melalui jasa pelabuhan. Sayangnya, masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya harus berakhir sekitar tahun 1007 dan 1023 Masehi. Bermula ketika Raja Rajendra Chola, seorang penguasa Kerajaan Cholamandala berhasil menyerang Sriwijaya dan berhasil merebut bandar-bandar kota Sriwijaya. Terjadinya penyerangan ini karena kedua kerajaan ini saling bersaing pada bidang pelayaran serta perdagangan. Kerajaan Cholamandala bukan berniat untuk menjajah, akan tetapi ingin meruntuhkan armada kerajaan. Sehingga membuat kondisi ekonomi pada saat itu melemah serta berkurangnya pedagang. Tidak hanya itu, kekuatan militer kerajaan juga melemah dan membuat prajurit Sriwijaya melepaskan diri dari kerajaan. Hingga, masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya berakhir sekitar abad ke-13.
MASA KERUNTUHAN KERAJAAN SRIWIJAYA
Kerajaan Sriwijaya mengalami keruntuhan ketika Raja Rajendra Chola, penguasa Kerajaan Cholamandala menyerang dua kali pada tahun 1007 dan 1023 M yang berhasil merebut bandar-bandar kota Sriwijaya. Peperangan ini disebabkan karena Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cholamandala bersaing pada bidang perdagangan dan pelayaran. Dengan begitu, tujuan dari serangan Kerajaan Cholamandala tidak untuk menjajah melainkan untuk meruntuhkan armada Sriwijaya. Hal ini disebabkan ekonomi Kerajaan Sriwijaya semakin melemah karena para pedagang yang biasanya berdagang di Kerajaan Sriwijaya terus berkurang. Tidak cuma itu, kekuatan militer Sriwijaya juga semakin melemah sehingga banyak daerah bawahannya yang melepaskan diri. Akhirnya, Kerajaan Sriwijaya runtuh pada abad ke – 13.
RAJA-RAJA KERAJAAN SRIWIJAYA
- Dharanindra Sanggramadhananjaya Maharaja
- WisnuDharmmatunggadewa
- Dapunta Hyang Sri Jayanasa
- Sri Indravarman
- Rudra Vikraman
- Samaragrawira
- Samaratungga
- Balaputradewa
- Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan
- Hie-tche (Haji)
- Rajendra II
- Rajendra III
- Sri Cudamanivarmadeva Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
- Sri Maravijayot tungga Se-li-ma-la-pi
- Sumatrabhumi
- Sangramavijayottungga
- Rajendra Dewa Kulot tunggaTi-hua-ka-lo
- Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa
- Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
- Srimat Sri Udaya
PENINGGALAN KERAJAAN SRIWIJAYA
1. Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur merupakan prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya yang berada di bagian Barat Pulau Bangka. Bahasa yang ditulis pada prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno serta menggunakan aksara Pallawa. Prasasti ini ditemukan sekitar tahun 1892 bulan Desember. Orang yang berhasil menemukan prasasti ini adalah J.K. van der Meulen. Prasasti ini berisi tentang kutukan bagi siapa saja yang membantah perintah serta kekuasaan kerajaan akan terkena kutukan.
2. Prasasti Kedukan Bukit
Seseorang bernama Batenburg menemukan sebuah batu tulis yang berada di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir pada 29 November 1920 Masehi. Ukuran dari prasasti ini adalah sekitar 45 x 80 centimeter serta ditulis menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini berisi tentang seorang utusan kerajaan yang bernama Dapunta Hyang yang melakukan perjalanan suci atau sidhayarta dengan menggunakan perahu. Dengan diiringi 2000 pasukan, perjalanannya membuahkan hasil. Saat ini, prasasti Kedukan Bukit disimpan di Museum Nasional Indonesia.
3. Prasasti Telaga Batu
Prasasti ini ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang. Isi dari prasasti ini adalah mengenai kutukan bagi mereka yang berbuat jahat di Sriwijaya. Keberadaan prasasti ini sama seperti prasasti Kedukan Bukit, yaitu disimpan di Museum Nasional Indonesia.
4. Prasasti Talang Tuwo
Residen Palembang, yaitu Louis Constant Westenenk menemukan prasasti pada 17 November 1920. Prasasti ini ditemukan di kaki Bukit Seguntang di sekitar tepian utara Sungai Musi. Isi dari prasasti ini berisi doa-doa dedikasi dan menunjukkan berkembangnya agama Buddha di Sriwijaya. Aliran yang digunakan di Sriwijaya adalah aliran Mahayana yang dibuktikan dengan kata-kata dari Buddha Mahayana seperti bodhicitta, vajrasarira, dan lain-lain.
5. Prasasti Ligor
Prasasti yang ditemukan di Thailand Selatan ini memiliki dua sisi, yaitu sisi A dan sisi B. Pada sisi A menjelaskan tentang gagahnya raja Sriwijaya. Dalam prasasti tersebut ditulis bahwa raja Sriwijaya merupakan raja dari segala raja dunia yang sudah mendirikan Trisamaya Caiya bagi Kajara. Sedangkan untuk sisi B atau yang disebut prasasti ligor B berisi mengenai pemberian gelar Visnu Sesawarimadawimathana. Gelar tersebut diberikan kepada Sri Maharaja yang mana berasal dari keluarga Sailendravamasa.
6. Prasasti Palas Pasemah
Prasasti Palas Pasemah merupakan prasasti yang berhasil ditemukan di desa Palas Pasemah, Lampung Selatan. Bahasa yang digunakan pada prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno dengan aksara Pallawa serta tersusun atas 13 baris kalimat. Isi dari prasasti ini berisi tentang kutukan terhadap orang yang tidak tunduk pada kekuasaan Sriwijaya. Diperkirakan, prasasti ini berasal dari abad ke-7 Masehi. Konon, prasasti ini ditemukan di sebuah pinggiran rawa desa.
7. Prasasti Karang Birahi
Kontrolir L.M. Berkhout menemukan prasasti Karang Birahi pada tahun 1904 di sekitar tepian Batang Merangin, Jambi. Isi dari prasasti Karang Birahi juga kurang lebih hampir sama dengan prasasti di poin sebelumnya, yaitu mengenai kutukan bagi mereka yang tidak tunduk terhadap Sriwijaya.
Belum Ada Komentar